“Aduh. banyaknya
kerja-kerjaku yang masih terbengkalai..,” gumamku sambil melihat selerakan
kertas-kertas kusam yang memuat bahan-bahan untuk menggarap artikel dan cerpen.
Terbiar lusuh di dalam timbunan kertas-kertas madah kuliah. Kulirik senarai tajuk
projek beberapa artikel yang mesti kusiapkan pada softboard di depanku.
Islamisasi Bukanlah Arabisasi, Merdekakah Kita?, Hilangnya
Cendekiawan-cendekiawan Muslim dan Menanti Kebangkitan Islam. Semuanya empat
tajuk. Ditambah beberapa kerangka cerpen yang belum bertajuk, masih dalam
proses pengumpulan beberapa isi dan bahan ‘pemanis’ untuk mengolahnya.
Walaupun hari-hari
disibukkan dengan rutinitas kuliah yang padat, kutetap memujuk diri sendiri
untuk berusaha memposting beberapa tulisan di alam maya. Sekedar selingan, biar
fikiran tak tepu atau jumud. Lagipun pintu-pintu dakwah kan pelbagai, jadi tak
ada salahnya kuceburi bidang yang satu ini.
Bagi penulis amateur
murahan sepertiku bisa posting karya di blog pribadi itupun sudah cukup membuat
hatiku lega, dan bahagia pastinya. Di celah-celah kesibukan itu kukumpulkan
sedikit demi sedikit beberapa bahan yang
kuperlukan. Biasanya aku pinjam buku-buku dari kawan-kawan aku. Tempoh masa
yang mereka bagi memang lebih lama berbanding dengan perpustakaan yang hanya 2
minggu saja. Itu satu keuntungan kalau dapat berkawan dengan ulat buku. Ya, aku
menggunakan kesempatan, bukannya ‘memperguna’ pun.
Tingkap bilik kusibak
luas-luas. Kuliat hijau, sejauh saujana mata memandang. Ilalang tampak basah
kedinginan. Diam tak bergerak, karena angin belum datang mengajaknya menari.
Embun bening pagi laju menyergap pori-pori epidermisku. Sejuk!
Gerimis masih bermain
di luar sana. Jatuh beramai-ramai memandikan bumi yang dahaga. Sementara
bukit-bukit yang berjajar di sekeliling kawasan ini masih diselimuti kabus yang
merendah. Mengaburi pandangan mata. Segerombolan Cumulusnimbus bergelayut di
angkasa, sedikit berarak perlahan. Memuntahkan tangisannya.
Di dalam bilik ini,
lagu ‘Tekad’ yang disuarakan oleh Izzatul Islam terus berdendang mengusik
telinga. Kurebahkan punggung di atas
kursi plastik yang sudah nampak pudar kulitnya. Sambil menghadap laptop Toshiba
tua ini.
Bulb!! Tanda hijau di
chatting room Facebook-ku menyala.
“Ran?” Perempuan manis
berdarah kacukan Jawa-Belanda yang mengutus pesan. Lama benar aku tak
berkomunikasi dengannya. Walaupun dia telah menjadi ‘Friend’ tapi sejatinya aku
belum pernah chatting dengannya. Bukan apa, sebab dia perempuan non-muslim.
Jadi aku fikir tiada apa-apa yang perlu aku tanyakan. Aku takut terpengaruh
dengan dakyah-dakyahnya! Itu saja.
Aku mengenalinya di
sekolah menengah kami dulu, saat itu dia masih berumur 15 tahun. Lebih muda dua
tahun dariku. Kebetulan dia pernah menjadi lawanku di separu akhir saat aku
menyertai pertandingan catur peringkat sekolah. Detik itulah aku mulai
mengenalnya.
“Ada apa?” balasku.
“Aku tahu kau seorang
Muslim. Sebagai orang yang berlainan agama, terlalu banyak perkarta yang ingin
aku tanyakan padamu,” Kata-katanya datar. Ku menggeliat memulas kursi. Menanti
kata-kata seterusnya.
“Kalian melaksanakan
solat wajib 5 kali sehari, kan? Menyembah Tuhan Yang Maha Esa, Tuhan yang
ghaib. Dia Wujud namun tidak berbentuk, tiada sesuatu pun yang menyerupai-Nya.”
Sambungnya.
Aku semakin
tercengang. Bagaimana Ran tahu semua itu? Jangan-jangan Ran telah mempelajari
luar dalam tentang Islam. Sungguh aneh mahasiswa Institut Teknologi Surabaya
ini. Aku tetap menanti ayat selanjutnya.
“Tetapi mengapakah kalian
menghadap Kakbah? Bukankah itu berarti bahwa kalian menyembah Kakbah? Kalau
menyembah Kakbah berarti Kakbah itu berhala.” Dia melontarkan soalan yang
benar-benar membuatku terkejut
“Katanya Islam itu
agama yang benar, tidak menyembah selain Allah, tapi mengapa kalian
melakukannya?” Pertanyaan bertubi-tubi muncul di sreen laptop pemberian ayahku
ini. Dahiku berkerut. Tak henti-hentinya
aku menggaru rambut kepalaku yang tidak gatal.
“Argh..bingung juga ya
mau jawab soalan begini,” Kubelum berani merespon pesan-pesannya.
“Erm, beri aku sedikit
waktu untuk berfikir..” pintaku.
Segera kuraih mushaf
terjemahan Al Quran yang tak jauh di sebelah kananku. Kubelek helaian demi
helaian. Muka surat 19. Muka surat 22. Kurenung sekejap sambil
memanggil-manggil ingatan lama.
Beberapa minit
kemudian.
“Baiklah, memang benar
kami solat menghadap Kakbah. Itulah perintah Allah kepada kami umat Islam.
Buktinya bisa dibaca di dalam Al Quran 2:125 dan juga Al Quran 2:144. Kami,
selaku hamba Allah, hanya dengar dan patuh saja terhadap apa jua perintah-Nya.
Karena bagi kami, Dia Yang Menciptakan kami, Menciptakanmu dan juga Sang
Pencipta seluruh alam semesta ini pastinya lebih mengetahui apa yang terbaik
bagi ciptaannya.”
Kucuba menyusun ayat
sebaik mungkin. Aku tak ingin membuatnya tersinggung atau berasa sakit hati
oleh ayat-ayatku.
Di luar sana mentari
muylai merangkak naik. Memanjat cakerawala yang redup. Sudah masuk waktu Duha
pastinya. Bau harum tanah yang basah dan rumput hijau selepas hujan menyeruak
memasuki rongga hidungku. Segar.
Fikiranku tertumpu
kembali. “Kakbah bukanlah berhala, Ran. Ia adalah Kiblat. Sebagai penyatu
halatuju seluruh umat Islam di serata penjuru dunia ini. Hakikatnya kami tetap
menyembah Allah, Tuhan Yang tiada sekutu bagi-Nya.” Terangku kepadanya. Aku
terdiam menanti respon.
Hijau!
“Aku masih tidak bisa
menerima jawabanmu itu. Tidak logik langsung!” Sergah Ran.
“Ah.. Susah betul
berbahas dengan orang Rasionalist nih..” Aku menggerutu sendiri.
“Bagiku, kalian tetap
sama saja seperti penyembah berhala!” Ran kembali menyerangku. Agaknya masih
belum berpuas hati dengan jawaban yang aku berikan tadi.
Memang agak susah
bagiku untuk menjelaskan perkara agama secara logik. Karena tak semua perintah
agama itu bisa dinalar dengan akal. Sebab iman itu mengatasi akal! Akal mesti
tunduk kepada iman sekiranya berlaku pertembungan yang sukar dijangkau oleh pemikiran
akal. Sebagaimana akal agak sukar untuk mempercayai peristiwa Israk Mikraj yang
terjadi hanya dalam masa sekejap saja. Sungguh! Jika tiada pagar-pagar keimanan
yang membentengi jiwa raga, nescaya akal akan terus memberontak.
Aku teringat ulasan
Syeikh Muhammad Al Ghazali berkenaan akal di dalam salah satu karya agungnya,
Warisan Pemikiran Islam Menurut Syarak dan Akal. Beliau berpendapat, di dunia
yang sangat luas ini tidak ada lagi sesuatu yang berharga selain akal yang tunduk
dan bersujud di hadapan keagungan Allah, seraya berkata : Maha Suci Allah dan
segala puji bagi-Nya. Maha Suci Allah Yang Maha Agung.
Baiklah, aku akur.
Tapi takkan semudah itu untuk menyerah terhadap intimidasi Ran. Kuselongkar
beberapa helaian kertas coretan lama di dalam lemari. Mencari kertas kerja
seminar Comparative Religion yang pernah disampaikan oleh Brother Shah
Kirit beberapa tahun lepas. Seingat aku dulu beliau pernah menjawab soalan
sebegini dengan hujah logik akal.
“Hm..dapat!” Kubaca
sejenak tulisan-tulisan buruk yang tercatat di tepi kertas kerja tersebut.
“Oke, aku faham.”
“Baiklah, Ran!. Aku
ada beberapa bukti yang rasional yang membuktikan bahwa Kakbah bukanlah
berhala.” Jawabku tegas. Aku harap Allah
membukakan pintu kefahaman Ran.
“Jelaskan!” kata Ran.
“Yang pertama, orang
Muslim tidak berdosa menaiki bahagian atas atau atap Kakbah. Tentu kau sendiri
pernah melihat sebahagian pembesar-pembesar di Masjdil Haram berdiri di atas
Kakbah,” Kujelaskan satu per satu.
“Tapi apakah kau
pernah melihat penganut-penganut agama selain Islam yang berdiri di atas
berhala sembahannya? Pastinya tidak!” Kulontarkan balik paku keras kepada Ran.
Aku menyambung hujah. “Seterusnya,
ramai umat Islam yang memijak-mijak gambar Kakbah. Lihat saja sejadah-sejadah bercorak
gambar Kakbah yang terhampar di masjid-masjid atau di mana jua. Sekiranya
Kakbah itu sembahan umat Islam tentu mereka takkan memijak-mijak gambarnya.
Betul?” Aku harap Ran dapat menerima rasionalku ini. Berfikirlah kawan! Semoga
hatimu terbuka.
Belum sempat Ran
merespon, aku segera mengukuhkan hujah-hujah yang kulontarkan. “Ketiga,
sekiranya ada segolongan manusia yang cuba membina Kakbah lain, yang lebih
hebat, lebih indah dan lebih megah daripada Kakbah yang berada di Masjidil
Haram, nescaya sekali-kali tidak akan ada umat Islam yang memalingkan wajahnya
dari Kakbah di Masjidil Haram. Kakbah yang menjadi kiblat umat Islam sejak
zaman Rasulullah saw, sehingga kini dan selamanya.”
Aku rasa sudah cukup
bagiku mengemukakan tiga bukti yang rasional tersebut. Kalau Ran masih saja
bertegang untuk menolaknya, entahlah. Sudah pasti otak ini akan terbantai
dengan soalan-soalan maut seperti itu.
“Bagaimana Ran?” Aku
cuba memastikan pendiriannya. Sepi. Tiada Jawaban.
“Ran, kau masih ada di
situ?” sekali lagi ku bertanya.
“Ya..aku masih di
depan laptop ini lagi,” Ran merespon.
“Untuk saat ini aku
terima jawabanmu,” Tambahnya.
“Hah, Alhamdulillah!”
Bisikku pada hati sendiri. Seakan aku merdeka dari pergelutan hujah-hujah tadi.
Anganku melayang, terbang tinggi ke ufuk dunia. Ringan, bagai hilang segala
beban!
“Tapi jangan terlalu
bergembira dulu.” Ran tiba-tiba mengirim pesan.
Apa? Kata-kata Ran itu
seakan merampas senyumku sebentar tadi!
“Aku ingin kau
jelaskan padaku seputar fakta-fakta sains kontemporari yang terkandung di dalam
kitab sucimu itu,” pintanya manja.
“Argh!! Lagi-lagi kau
meminta sesuatu yang sukar kubuat. Awas kau Ran!” balasku.
“Hm, maaf.. tapi
sepertinya aku telah jatuh hati…” Tak kuduga Ran berani mengirim pesan sebegitu
kepadaku.
Aku jadi serba salah
dibuatnya. Ah gawat, bagaimana mungkin aku bisa terjebak dalm kondisi macam
ini? Kacau! Kutunggu pesan seterusnya tapi tidak segera muncul.
Kuberanikan diri untuk
bertanya, agak berat jemariku menekan-nekan papan kekunci laptop ini.
Aku paksa juga, “Jatuh
hati kepadaku??”
Ah, malunya aku bertanya
soalan bodoh seperti itu. Entah akan kusembunyikan di mana wajahku ini.
Bulb! Hijau ! Ran
membalas.
“Jatuh hati kepada
agamamu! J”
Hah, lega!
Maktabah Darul Quran
Rabu, 19 September
2012
15.40
choirur,mahu jadi penulis bahasa melayu atau bahasa indonesia? :)
ReplyDeleteidea yang menarik, tentang comparative religion,tetapi persoalan yang boleh ditambah lagi. seperti yang kita telah pelajari hari-hari lalu,kaitkan apa pun dengan realiti masyarakat semasa.
ada sinar gemerlap daripada bakat kamu. kekayaan bahasamu satu bonus untuk membuat pembaca menoleh dua kali pada karya kamu.
menanti karya-karya. selamat menekuni manusia modenisasi.
ikhlas,
sahabatmu
Rasanya bahasa tak menjadi masalah. Dalam sastera kita boleh menggunakan kedua-dua bahasa untuk memperkaya kosakata. Lagipun perbedaan Bahasa Melayu di Indonesia dan Malaysia tidak terlalu banyak. Cuma kita mesti tahu di mana letak perbedaan sesuatu kata tersebut biar tidak menimbulkan salah faham masyarakat.
ReplyDeleteUntuk perkembangan idea yang akan diangkat dalam karya memang agak susah. InsyaAllah sama-sama pertingkatkan lagi kepekaan terhadap isu-isu masyarakat, sama ada nilai-nilai kemanusiaaan, persekitaran, agama, pendidikan, falsafah dan lain-lain.
Arigato, :) Kau pun perlu serlahkan lagi sinaran penamu. Tak lama lagi kan meninggalkan bumi DQ. So, tinggalkan apa yang patut. Hidup untuk memberi (Laskar Pelangi).
Ikhlas (mungkin),
Junior-mu.